Jumat, 04 Januari 2013

Pemahaman “Equality Before The Law” Polisi Diuji

Masih Ingat kasus afriyani yang menabrak dan kemudian menewaskan beberapa orang di Tugu Tani ? Masih ingat kasus foto model seksi Novi Amelia yang menabrak 7 orang di Jakarta karena mabuk berat ? Andhika Pradikta yang mengendarai mobil dan menabrak warung pecel lele yang menyebabkan dua orang tewas. Nah sekarang ada lagi tabrakan karena kelalaian yang menyebabkan orang tewas. Kecelakaan yang terbaru ini berbeda dengan yang lain dan bisa dikatakan istimewa, kenapa istimewa dan berbeda ? karena yang menabrak adalah anak bungsu dari Hatta Rajasa ( Menko Perekonomian RI/ Ketua Umum Partai Amanat Nasional / Calon Presiden RI / Besan dari RI 1) yaitu Muhammad Rasyid Amrullah
Kecelakaan ini langsung menggugah saya untuk menulis tentang pemahaman polisi mengenai makna asas “equality before the law” (semua orang berkedudukan sama didepan hukum). Dalam beberapa kasus sebelumnya seperti kasus Afriyani proses hukumnya berjalan dengan cepat. Kasus Afriyani dapat dikatakan proporsional penanganannya oleh polisi. Mereka tegas dan cepat memutuskan dan mengadili Afriyani. Penetapan menjadi tersangka juga tidak lamban dan ditetapkan pada hari itu juga
Kemudian kasus Novi Amelia dan Andhika Pradikta Penanganan yang sama seperti Afriyani juga diberikan kepada Novi Amelia dan Andhika Pradikta. Polisi tidak membutuhkan waktu lama untuk menetapkan Novi dan Andhika sebagai tersangka. Sedangkan pada penanganan kasus Rasyid, polisi terkesan lamban dan ada hal yang ditutup-tutupi. Perlakuan istimewa seakan diberikan kepada Rasyid terhadap kasus yang membelitnya. Kalaupun polisi mengatakan bahwa tak ada perlakuan istimewa untuk Rasyid, publik butuh buktinya bukan hanya “pepesan kosong” dari polisi. Apalagi sampai dengan saat ini publik belum melihat bagaimana kondisi fisik Rasyid seperti apa, hanya mendengar saja dari media
Penahanan Rasyid pun ditangguhkan dengan alasan masih dirawat karena trauma berat akibat tabrakan tersebut. Coba kita menggunakan metode perbandingan, bagaimana dengan Afriyani yang menewaskan 9 orang ? apalagi dia seorang perempuan, dia juga pasti trauma berat setelah kejadian itu, namun penahanan terhadap dirinya berjalan mulus bebas hambatan, tidak seperti halnya Rasyid. Beda lagi dengan Andhika yang saat ini sudah dititipkan di Polda Metro Jaya, tidak lagi di RS. Di RSPP tempat ia dirawat perlakuannya juga istimewa, kamarnya president suite yang satu malamnya seharga sekitar Rp. 2,5 jutaan dan dijaga oleh 3 orang pengawal
Selanjutnya masalah pencekalan, dimana tempat Rasyid bersekolah/berkuliah di London, Inggris. Polisi mengatakan tidak perlu untuk melakukan pencekalan terhadap Rasyid karena keluarga menjamin jika Rasyid tidak akan memanfaatkan kelonggaran yang ada untuk kabur atau kembali ke London. Klo menurut saya sih “sedia payung sebelum hujan” mengapa tidak ?. Jika nanti ada kejadian kecolongan seperti Nazarudin yang kabur ke Kolombia sebelum ditahan, saling lempar tanggung jawab. Kalaupun nanti Rasyid sudah dijatuhkan pidana oleh hakim siapa juga yang berani jamin klo dia masih ada di tahanan ato di Indonesia. Gayus Tambunan saja yang ditahan di Mako Brimob bisa lihat turnamen tenis internasional sampai ke Bali pas waktu masa tahanannya
Kemudian masalah perdamaian antara keluarga Pak Hatta (Ortu Rasyid) dengan keluarga korban yang memberikan kompensasi, hal itu tidak secara otomatis bisa menghilangkan unsur pidana kelalaian menyebabkan orang lain mati. Tetap proses hukumnya harus berjalan sampai pengadilan, karena hakim yang akan menentukan seberapa berat nanti Rasyid akan diberi hukuman. Perdamaian itu mungkin dapat saja sebagai bahan pertimbangan memberikan keringanan hukuman bagi Rasyid yang diancam dengan Pasal 283 jo 310 UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan ancaman pidana 4 tahun penjara
Pendapat pribadi saya sedikit ragu terhadap “law enforcement” yang “fair” terkait kasus tabrakan anak menteri ini. Saya masih ingat kata-kata dosen saya Prof. Dr. Eddy OS Hiariej bahwa asas Equality Before The Law itu sebenarnya hanya t*i-t*i saja, sekedar tulisan saja. Hukum itu dalam realitanya saat ini seperti pisau, sangat tajam jika kebawah dan tumpul jika ke atas. Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan tersangka, yah ini hanya merupakan sebuah uneg-uneg dalam otak yang bisa jadi sampah dalam otak apabila tidak dituliskan dari seorang mahasiswa jelata karena ucapan polisi jika “TIDAK ADA PERLAKUAN ISTIMEWA TERHADAP TERSANGKA”. Ayo-ayo kawal terus perkaranya, jangan sampe hilang dari peredaran proses penegakan hukumnya

Kamis, 18 Oktober 2012

KEKERASAN OLEH MILITER

Kali ini publik dikejutkan lagi dengan adanya tindakan kekerasan terhadap wartawan. Kekerasan itu terjadi terhadap wartawan ketika terjadi musibah jatuhnya pesawat Hawk 200 di Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin, Riau. Dimana pada saat itu beberapa wartawan sedang menjalankan tugas jurnalistiknya untuk meliput peristiwa jatuhnya pesawat Hawk 200. Diluar dugaan ternyata beberapa oknum TNI (salah satunya berpangkat Letnan Kolonel) melakukan tindakan kekerasan terhadap 6 orang wartawan. Bagaimanapun juga tindakan kekerasan terhadap wartawan tidak dapat dibenarkan, walaupun ada alasan dari KSAU bahwa hal itu dilakukan untuk melindungi diri wartawan sendiri karena pesawat tersebut membawa persenjataan yang lengkap dan dapat meledak sewaktu-waktu serta melukai orang-orang yang ada disekitarnya.
Secara rasionalitas yang baik seharusnya saat melarang wartawan untuk tidak mendekat, anggota TNI tidak menggunakan tindakan represif, gunakanlah pendekatan persuasif. Ketika memang wartawan masih terlihat “ngeyel” silahkan dorong dengan badan atau tangan tanpa main cekek atau main pukul. Dalam hal yang seperti ini, perlu ditekankan bahwa anggota TNI harus bisa membedakan perlakuan wilayah sipil dengan perlakuan wilayah militer. Ketika TNI menghadapi rakyat, jangan menyamakannya dengan menghadapi wilayah militer. Rakyat biasa akan kelabakan jika dihadapkan dengan militer yang identik dengan disiplin dan keras. Seharusnya TNI itu bersinergi dengan rakyat (termasuk didalamnya wartawan), bukan malah menindas dengan kekerasan.
Berdasarkan hukum positif di Indonesia jurnalis dilindungi dan dijamin oleh UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Jo Pasal 19 UU No 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (Covenan On Civil And Political Right/ICCPR) serta Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Kebebasan Pers. Pasal 18 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Kebebasan Pers menyatakan “setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan pekerjaan jurnalistik maka dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta".
Setelah banyak orang mengecam tindakan kekerasan tersebut, Panglima TNI berjanji akan menindak sesuai dengan aturan para pelaku yang melakukan kekerasan terhadap wartawan. Disini seharusnya kita ikut berperan serta memantau perkembangan proses peradilan bagi oknum yang melakukan kekerasan terhadap wartawan tersebut. Jangan hanya dengan kata maap dan “lipservice” petinggi TNI di media bahwa perkara kekerasan ini akan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, kita percaya penuh dan puas. Pemantauan itu tetap diperlukan agar proses peradilan terhadap pelaku kekerasan sesuai dengan jalurnya dan tidak hanya menguap sampai sidang kode etik. Gejala dan tindakan kekerasan terhadap wartawan yang sering terjadi serta berulang ini menunjukkan, bahwa belum ada pemahaman yang tepat terhadap kerja-kerja jurnalistik yang dilindungi oleh undang-undang. Akibatnya, tidak adanya efek jera dari para pelaku kekerasan terhadap wartawan

Senin, 08 Oktober 2012

Konflik KPK Vs Polri jilid 2 ?

Sedikit flashback kebelakang mengenai kasus KPK Vs Polri tahun 2009 lalu terkait dengan kasus century yang melibatkan Komjen. Susno Duaji dan kemudian akhirnya ada “upaya” kriminalisasi pimpinan KPK Bibit Samad dan Chandra Hamzah. Kasus tersebut mirip dengan perkara yang terjadi saat ini yaitu kasus simulator SIM yang menjadi “trending topic” dimasyarakat. Dalam kasus simulator SIM ini terdapat dualisme penanganan perkara, dimana Polri menyatakan bahwa merekalah yang berhak menangani kasus ini, karena dari awal mereka sudah menyelidik kasus ini. Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila suatu perkara sudah di “take over” oleh KPK, maka lembaga lain harus melepas perkara tersebut untuk diproses oleh KPK, dengan tetap berkoordinasi dengan lembaga lain. Sebenarnya adanya konflik kewenangan ini menunjukkan bahwa adanya egoisme lembaga penegak hukum dalam penanganan sebuah kasus. Jika setiap lembaga tidak mengedepankan egosime, maka konflik ini tidak akan terjadi.
Kemudian jika dilihat dari kasus penyidik KPK Kompol. Novel Baswedan yang menjadi buruan “Polri” sedikit ada kejanggalan. Kejanggalan tersebut terkait proses dan waktu, dimana pada saat terjadi dugaan tindak pidana penganiayaan oleh Kompol. Novel Baswedan terhadap pencuri sarang burung walet terjadi pada tahun 2004 dan kini sudah tahun 2012, terdapat sela waktu panjang untuk pengungkapan kasus tersebut. Timbul satu pertanyaan dari beberapa orang, apa saja kerja provos Polda Bengkulu selama tahun 2004 hingga saat ini untuk mengungkap kasus dugaan penganiayaan tersebut. Dari beberapa sumber media juga disebutkan bahwa penasehat hukum keluarga korban penganiayaan belum pernah melaporkan kembali ke polisi sejak tahun 2004, ketika dugaan perbuatan pidana tersebut terjadi. Mereka mengakui hanya mengirimkan surat permohonan untuk memperoleh keadilan kepada polisi pada tanggal 22 September 2012, sedangkan laporan polisi tersebut tertanggal 1 Oktober 2012. Apalagi saat ini Kompol. Novel Baswedan sedang menangani kasus simulator SIM dan menjabat sebagai Wakil Ketua Satgas Penanganan Kasus Simulator SIM.
Beberapa pemaparan hal diatas membuat stigma dimasyarakat bahwa ada kejanggalan terkait dengan kasus yang menimpa Kompol. Novel Baswedan. Masyarakat menilai bahwa novel merupakan korban “kriminalisasi” pihak-pihak tertentu yang ingin menghambat jalannya proses kasus simulator SIM yang sedang ia selidiki, seperti halnya Bibit-Chandra pada saat menangani kasus century yang melibatkan Komjen. Susno Duaji. Penangkapan penyidik KPK tersebut juga dapat dikatakan sebagai teror suatu lembaga terhadap lembaga lain, hingga para petinggi Polri dan KPK turun tangan sampai ke bawah untuk “mendinginkan” suasana. Rakyat yang melihat suasana konflik seperti saat ini merasa jenuh sehingga menyebabkan berlarut-larutnya penanganan kasus simulator SIM. Penantian rakyat adanya statement SBY akhirnya keluar malam ini. Adanya statement SBY pada malam ini sedikit memberi harapan baik terhadap perkembangan penanganan kasus simulator SIM khususnya dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi pada umumnya. Setelah keluarnya statement SBY pada malam ini rakyat harus tetap mengawal jalannya penegakan hukum terhadap kasus simulator SIM, agar tidak keluar dari “rel” instruksi presiden kepada Polri dan KPK pada malam ini.

Jumat, 28 September 2012

Ironi Kehidupan

Berfilosofis kembali
Sore hari Jumat, 28 September 2012 pulang kuliah menuju rumah tercinta. Menikmati padatnya jalanan gejayan yang dulu tidak sepadat beberapa tahun yang lalu. Terlihat pemandangan ironi sebuah kehidupan di perempatan condong catur. Disisi kiri ada bapak-bapak tua yang penuh peluh mengayuh odong-odong sumber rejekinya, disisi kanan ada laki-laki setengah baya yang naik Harley Davidson (HD) dengan gagahnya “membleyer-bleyer” motornya yang berharga puluhan atau ratusan juta rupiah. Namanya juga HD, pasti mesin besar dan juga berknalpot besar, membuat gaduh jalan raya klo lewat.
Sempat berpikir, gaya sekali orang yang naik HD ini, tidak melihat kanan kirinya yang tertib mengendarai motor dan mobil tanpa “bleyar-bleyer”. Kami juga tau bung motor anda itu mahal, tapi jangan sombong, diatas langit masih ada langit. Kekayaan mu itu hanya titipan Allah SWT, kapan saja bila Allah berkehendak bisa saja diambil. Allah berfirman dalam Q.S. Lukman (31) ayat 18 : “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. Harusnya si pengendara HD tadi melihat di sisi kiri saya ada bapak-bapak yang mengayuh odong-odong sebagai sumber rejekinya. Jangan Cuma pake kacamata hitam naik HD, “bleyer-bleyer” merasa jalan milik “mbahnya”, memang anda membayar pajak lebih mahal, tapi hargailah pengendara yang lain.
Mungkin itu salah satu ironi kehidupan, sisi kiri dan sisi kanan ada perbedaan yang sangat mencolok. Disatu sisi ada orang yang kesulitan mengais rejeki untuk mencoba hidup layak, disisi lain ada orang yang bersenang-senang melihatkan hartanya yang berlimpah. Seharusnya kita bersyukur jika diberi kehidupan yang cukup oleh Allah SWT, bukan malah sombong dan berhura-hura dengan harta yang hanya titipan Allah SWT. Lihatlah kebelakang atau kebawah bahwa ada orang yang belum seberuntung kita, yang belum bisa mendapatkan hidup layak seperti halnya kita. Dengan melihat kebawah paling tidak bagi orang yang sadar, pasti akan terus bersyukur kepada Allah SWT atas rejeki yang telah diberikan.
Bersyukur itu penting agar kita tidak khufur nikmat, selalu ingat bahwa semua adalah titipan Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Ibrohim (14): 7: "Jika kamu bersyukur pasti akan aku tambah (nikmat-Ku) untukmu dan jika kamu kufur maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih". Dengan bersyukur paling tidak kita mengurangi sifat hura-hura duniawi kita. Berpikir bahwa harta ini tidak hanya untuk berhura-hura tapi juga digunakan untuk beribadah di jalan Allah SWT dalam bentuk sedekah, shodaqoh maupun berinfaq. Bersenang-senang itu boleh asalkan masih dalam batas-batas norma tertentu, tidak sampai hura-hura sepenuhnya. Saya pun juga kadang bersenang-senang, hal ini manusiawi karena manusia juga butuh kesenangan. Namun selalu ingat bahwa ada orang-orang yang belum seberuntung kita agar jangan sampai “kebablasan”. Memang tidak ada manusia yang sempurna, namun banyak manusia yang berusaha untuk jadi lebih baik dari yang sebelumnya.

Selasa, 25 September 2012

Berfilosofis tentang Kesalahan

Berfilosofis tentang kehidupan dan perilaku individu bagi saya merupakan suatu kegiatan yang menarik, dengan berfilosofis kita bisa mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kehidupan dan perilaku, tidak hanya berpikir praktis, namun juga berpikir secara mendalam. Edisi kali ini akan membahas mengenai kesalahan.
Kesalahan berasal dari kata salah yang artinya dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah keliru atau tidak benar. Kesalahan dapat dilakukan oleh setiap manusia, baik itu kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja, hal inipun bersifat manusiawi. Kesalahan dapat terjadi karena adanya 2 (dua) hal yang tidak sinkron, entah itu bentuknya persepsi atau pemahaman. Bentuk kesalahan dalam kehidupan inipun ada berbagai macam antara lain kesalahan dalam pergaulan baik itu persahabatan maupun berpacaran, kesalahan dalam bekerja, kesalahan dalam bersikap dan lain sebagainya.
Manusia dalam hidupnya pasti tidak akan lepas dengan apa yang namanya “kesalahan”’ karena tidak ada manusia yang sempurna, sempurna itu hanya milik Allah SWT. Manusia yang baik adalah manusia yang ketika melakukan sebuah kesalahan, ia mengakuinya dan mau memperbaiki kesalahannya tersebut. Ada juga tipe manusia yang tidak mau mengakui kesalahannya, dan menganggap bahwa apa yang dia lakukan selalu benar, tipe orang yang seperti ini adalah tipe orang yang egois.
Ketika seseorang sadar bahwa dia mahluk sosial dan pada suatu waktu melakukan sebuah kesalahan, seharusnya ia melakukan perbaikan terhadap kesalahannya tersebut. Perbaikan tersebut bisa dengan cara meminta maap atau melakukan hal-hal tertentu yang layak untuk menebus kesalahannya tersebut. Ketika seseorang benar-benar meminta maap atau melakukan hal-hal tertentu yang layak untuk menebus kesalahannya, hendaknya orang yang menjadi “victim” dari kesalahan tersebut dapat memberikan maap ataupun menerima hasil dari hal-hal tertentu yang dilakukan oleh si “trouble maker” yang layak untuk menebus kesalahannya.
Kadang seorang “victim” sulit untuk menerima kata maap ataupun sulit untuk menerima hal-hal tertentu yang dilakukan oleh si “trouble maker” untuk menebus kesalahannya. Kadang juga si “victim” menerima kedua hal tersebut, namun tidak dengan sepenuh hati. Hal ini menurut saya wajar karena ada kemungkinan “victim” trauma terhadap akibat yang ditimbulkan oleh “trouble maker”ataupun masih dendam. Allah SWT berfirman “… dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, .” (QS. An Nuur, 24:22)
Saya yakin ketika kita melakukan kesalahan pasti masih ada kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan kita tersebut, walaupun kadang orang berkata bahwa kesempatan itu tidak akan datang 2 kali. Jika si “trouble maker” secara sepenuh hati meminta maap kepada “victim” atau melakukan suatu hal untuk menebus kesalahannya untuk “victim” dengan bersungguh-sungguh, insyaallah orang tersebut tidak akan mengulangi kesalahannya yang telah lalu. Si “trouble maker” paling tidak sadar, akan apa akibat yang dapat ditimbulkannya nanti apabila ia melakukan kesalahan yang sama, seperti kesalahan yang sebelumnya ia lakukan. Akhir kata yuk bagi kita yang melakukan kesalahan, kita minta maap dengan sepenuh hati dan bagi “victim” yang dimintai maap untuk selalu berkenan memberikan maap secara sepenuh hati kepada “trouble maker”, maka hidup ini akan terasa nyaman dan damai.

Sabtu, 22 September 2012

Teori untuk Menemukan Kebenaran

Pada umumnya untuk menemukan suatu kebenaran harus berdasarkan fakta-fakta dan realitas yang ada. Penyajian fakta-fakta yang ada tersebut setidaknya menggunakan sebuah teori agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sebuah teori yang digunakan untuk mencari kebenaran, lebih dapat dipertanggung jawabkan dari pada mencari suatu kebenaran tanpa berlandaskan teori. Dalam hal mencari kebenaran, manusia juga tidak akan bosan menggunakan sebuah teori, bahkan hingga mengembangkan sebuah teori lama menjadi teori baru untuk menemukan kebenaran tersebut. Teori itu timbul dari buah pikiran manusia yang selalu mengkaji problem yang ada dan mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Perenungan manusia dalam hal tersebut membuat manusia berpikir secara mengakar dan komprehensif. Dalam perenungannya tersebut, manusia dapat dikatakan berfilsafat dan berfilosofis. Ketika manusia berfilsafat dan berfilosofis, maka manusia akan menembus dimensi-dimensi pemikiran manusia pada umumnya. Dimensi-dimensi tersebut tidak hanya dapat ditembus dengan kecerdasan intelektual, namun juga dapat ditembus dengan kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional.
Bidang teori untuk mencari kebenaran itupun beragam, baik itu ilmu yang bersifat sosial maupun ilmu yang bersifat eksakta. Namun dalam hal ini akan dibahas mengenai teori untuk menemukan kebenaran bidang ilmu sosial. Ilmu sosial adalah ilmu yang tidak pasti, lain seperti ilmu eksakta, maka dari itu banyak macam-macam teori dalam ilmu sosial walaupun nanti obyek kajiannya hanya 1 (satu). Dalam menggunakan sebuah teori untuk menemukan sebuah kebenaran, manusia pasti merenung dalam pikirannya. Pikirannya tersebut menerawang-rawang tentang arti dari sebuah nilai kebenaran. Perenungan arti sebuah nilai kebenaran tersebut, dilakukan manusia dengan merekayasa rasionalnya. Ibarat berpikir dilakukan dengan beberapa dimensi, tidak hanya berpikir 1 langkah kedepan, namun berpikir hingga beberapa langkah kedepan.
Kebenaran merupakan salah satu nilai yang ada di dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai kebenaran itu dapat dirasakan oleh rohani manusia, maksudnya adalah sifat manusiawi manusia pasti akan berusaha mencari suatu kebenaran. Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, secara tidak langsung manusia akan terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran tersebut. Sebaliknya apabila manusia telah memiliki pemahaman tentang kebenaran, namun manusia tidak melaksanakan kebenaran tersebut maka manusia akan mengalami gejolak batin atau rohani. Hal ini dapat terjadi karena manusia dalam kehidupannya apabila akan melakukan sesuatu perbuatan harus beriringan dengan kebenaran jalan hidup yang dipercayai dan dijalaninya.
Manusia juga dalam kehidupannya kadang dihadapkan dengan sebuah problem, baik itu problem besar maupun problem kecil. Dalam menghadapi problem tersebut, manusia pasti akan mencari jalan penyelesaiannya. Usaha mencari penyelesaian problem tersebut, dapat dilakukan dengan menggunakan rasionalitas dan pengalaman yang berdasarkan pada kebenaran. Rasionalitas dan pengalaman kehidupan yang didapatkan manusia membuahkan pemikiran-pemikiran yang terkadang melewati batas penalaran rasional pada umumnya. Suatu nilai kebenaran pasti membutuhkan pengakuan dari sekelompok masyarakat, agar kebenaran tersebut dianggap sebagai kebenaran yang sebenarnya dan kebenaran yang terbaik. Tidak jarang ketika ada 2 kebenaran yang diakui oleh masyarakat maka kebenaran tersebut akan diujikan, mana kebenaran yang memang benar-benar sempurna.
Pada pokoknya sebuah teori itu memang digunakan untuk mencari kebenaran. Namun, kebenaran-kebenaran tersebut harus sesuai dengan kebenaran yang berasal dari agama ataupun kebenaran dari Tuhan. Jika manusia berfilsafat dan berfilosofis untuk menemukan sebuah teori yang tujuannya adalah mencari kebenaran, tanpa berlandaskan agama dan Tuhan, maka manusia itu akan sesat. Hal seperti ini yang menjadi permasalahan bangsa saat ini, yang berakibat banyak aliran sesat karena jauhnya atau lepasnya dasar agama dan dasar ketuhanan dari rohani manusia tersebut. Perenungan untuk menemukan teori kebenaran tersebut bisa saja bertentangan dengan nilai-nilai agama dan ketuhanan, selain dari itu juga dapat bertentangan dengan realitas kehidupan masyarakat pada umumnya. Hal itu dapat saja terjadi karena memang otoritas utama dalam melakukan perenungan/berfilsafat/berfilosofis ada pada pikiran manusia. Setiap pemikiran manusia berbeda, hal itu membuat banyak berbagai macam teori tentang kebenaran. Hal yang paling berbahaya ketika manusia tidak menggunakan rasionalitasnya secara proporsional untuk menemukan kebenaran, adalah menganggap bahwa hanya dirinyalah yang paling benar dari pada kebenaran lainnya, sehingga nantinya timbul sikap egoisme dan primordialisme.
Berbeda kembali ketika kebenaran itu dikaitkan dengan nilai keagamaan dan nilai ketuhanan. Dalam agama nilai kebenaran mutlak milik Allah SWT. Selain kebenaran dari Allah SWT bukan kebenaran walaupun ada manusia atau sekelompok masyarakat mengakui itu merupakan sebuah kebenaran. Segala sesuatu yang bukan datang dari Allah adalah ketidakbenaran, walaupun memang kelihatannya normal dan umum. Kebenaran dari Allah yang dibawa oleh Rasullulah itulah yang harus kita cari, kita dapatkan dan kita amalkan. Selanjutnya kebenaran itu kita perjuangkan, karena kebenaran yang datang dari Allah itulah yang membuat manusia menjadi lebih mulia di kehidupan duniawi dan mulia di kehidupan yang akan datang yang lazimnya kita sebut hidup diakhirat.
Disinilah pentingnya rasionalitas manusia dalam berpikir. Manusia harus bisa memilah dan memilih dimensi-dimensi ketika melakukan perenungan untuk menemukan sebuah teori ataupun berfilsafat dan berfilosofis untuk menemukan sebuah kebenaran. Jangan sampai ketika melaksanakan perenungan tersebut manusia menjadi bingung terhadap apa yang direnungkan olehnya karena menyamakan semua dimensi dalam satu waktu perenungan.

Kualitas Hukum Positif Indonesia

Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana yang dijelaskan di dalam undang-undang dasar 45. Negara yang pada intinya selalu mewajibkan warga negaranya untuk selalu patuh kepada hukum positif, yang mana hukum tersebut sudah menjadi tolak ukur dalam kebebasan melakukan sesuatu. Namun kenyataannya sekarang berbeda, saat ini banyak mafia hukum yang masih berkeliaran di Negara kita. Kita lihat sekarang banyak koruptor kelas kakap yang dengan tenangnya tanpa harus memikirkan perbuatan apa yang telah mereka lakukan kepada Negara ini, sedangkan kejahatan rendahan seperti pencurian kecil-kecilan harus masuk penjara bahkan sebelum masuk penjara mereka harus babak belur dihajar massa yang kesal atas tindakan si maling tersebut.
Kemudian beberapa contoh kasus-kasus yang lain, yang ada di negara ini benar-benar beraneka ragam keanehannya. Seperti kasus yang beberapa waktu lalu terjadi di daerah Banyumas, Jawa Tengah. seorang nenek yang ketahuan mencuri 3 biji kakao di daerah perkebunan yang akan dijadikan bibit dan dituntut oleh jaksa dengan hukuman percobaan 1 bulan 15 hari. Miris rasanya melihat hukum positif di negara ini. Memang yang namanya pencurian tetap suatu kesalahan. Hanya saja yang jadi tak berimbang di sini adalah, seorang nenek yang hanya mencuri 3 biji kakao harus berhadapan dengan meja hijau tanpa di dampingi pengacara karena tidak adanya kemampuan finansial untuk membayar jasa pengacara. Sementara koruptor yang merampok uang rakyat yang bermilyar-milyar, bebas berkeliaran tanpa penyelesaian yang jelas. Hal ini menjadi sebuah pertanyaan di benak kita, bagaimana kualitas hukum positif Indonesia saat ini ? sehingga bisa-bisanya realita hukum positif indonesia menjadi seperti itu, maka perlu ditinjau mengenai hukum positif itu sendiri.
Jika ditinjau secara harfiah, arti dari hukum positif adalah hukum yang berlaku saat ini. Merujuk pada pengertian tersebut, maka hal itu menunjukan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini. Apabila dikaji secara mendalam tentang kualitas peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia tersebut, dapat dikatakan kualitasnya rendah. Indikator suatu hukum positif disuatu negara dikatakan rendah, apabila undang-undang tersebut belum mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan kadang justru menimbulkan masalah baru dalam pelaksanaannya. Suatu hukum positif yang berlaku disuatu negara, ketika dirancang dan kemudian disahkan diharapkan dapat menjadi solusi suatu permasalahan. Namun realitanya saat ini justru bertolak belakang, terkadang sebelum disahkan saja, sebuah undang-undang sudah ditentang oleh kelompok masyarakat dengan melakukan aksi demonstrasi.
Setelah suatu undang-undang disahkan pun kadang langsung diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi seperti Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang pemilihan umum. Beberapa hal tadi menunjukan bahwa memang kualitas hukum positif di Indonesia masih rendah, masih ada masalah-masalah yang belum dapat ditampung dalam sebuah undang-undang. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab rendahnya kualitas hukum positif di Indonesia. Pertama karena adanya faktor politis dari penguasa yang memiliki kepentingan tertentu terhadap suatu peraturan perundang-undangan. Kedua karena memang dalam hal pembuatannya terdapat cacat proses yang membuat peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat bekerja secara maksimal.
Dalam perancangan dan pembuatan peraturan perundang-undangan seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat benar-benar melaksanakan fungsinya secara maksimal. Harus melepaskan segala kepentingan politik yang ada dalam hal sebuah peraturan perundang-undang yang nantinya akan disahkan. Harapan ini memang ideal, namun jika diproyeksikan kepada realitanya maka akan terlihat bedanya, dan sulit mengaplikasikannya. Suatu idealita hukum positif yang bagus pun akan sulit terwujud apabila budaya Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal merancang dan mengesahkan sebuah peraturan perundang-undang masih seperti saat ini. Peningkatan kualitas suatu peraturan perundang-undangan, mutlak harus dilakukan oleh DPR bersama dengan presiden.
Berbagai macam cara dapat dilakukan agar pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dicapai. Selain berdasar pada beberapa macam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan, peningkatan kualitas pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat juga dilakukan dengan melakukan kajian mengenai apa yang dibutuhkan oleh masyarakat terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang sedang dibahas. Kajian tersebut diperlukan untuk melakukan penelusuran yang cukup tentang materi muatan yang menyangkut permasalahan yang akan diatur, sehingga kita dapat menentukan jenis peraturan yang mana sesuai dengan materi muatannya. Selain beberapa hal tersebut diatas harus dilakukan juga harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan agar nantinya tidak saling bertentangan antara 1 dengan yang lainnya.
Ketika suatu peraturan perundang-undangan tersebut tidak berkualitas maka akan mempengaruhi aspek lain dalam penegakan hukum positif di Indonesia. Beberapa aspek tersebut antara lain struktur hukum dan budaya hukum. Unsur struktur hukum berupa aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim. Unsur budaya hukum berupa pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim hukum yang berlaku. Semua aspek tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Penegakan hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif tidak berat sebelah dan bergantung pada nilai umum dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang.
Dalam praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang yang tidak dipatuhi. Apabila itu terus terjadi maka jelas hukum positif akan runtuh, jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan artinya. Ketidakefektifan undang-undang yang dibuat oleh DPR bersama dengan Presiden cenderung mempengaruhi pandangan masyarakat dan sikap ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk bagi para perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat.