Kamis, 18 Oktober 2012

KEKERASAN OLEH MILITER

Kali ini publik dikejutkan lagi dengan adanya tindakan kekerasan terhadap wartawan. Kekerasan itu terjadi terhadap wartawan ketika terjadi musibah jatuhnya pesawat Hawk 200 di Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin, Riau. Dimana pada saat itu beberapa wartawan sedang menjalankan tugas jurnalistiknya untuk meliput peristiwa jatuhnya pesawat Hawk 200. Diluar dugaan ternyata beberapa oknum TNI (salah satunya berpangkat Letnan Kolonel) melakukan tindakan kekerasan terhadap 6 orang wartawan. Bagaimanapun juga tindakan kekerasan terhadap wartawan tidak dapat dibenarkan, walaupun ada alasan dari KSAU bahwa hal itu dilakukan untuk melindungi diri wartawan sendiri karena pesawat tersebut membawa persenjataan yang lengkap dan dapat meledak sewaktu-waktu serta melukai orang-orang yang ada disekitarnya.
Secara rasionalitas yang baik seharusnya saat melarang wartawan untuk tidak mendekat, anggota TNI tidak menggunakan tindakan represif, gunakanlah pendekatan persuasif. Ketika memang wartawan masih terlihat “ngeyel” silahkan dorong dengan badan atau tangan tanpa main cekek atau main pukul. Dalam hal yang seperti ini, perlu ditekankan bahwa anggota TNI harus bisa membedakan perlakuan wilayah sipil dengan perlakuan wilayah militer. Ketika TNI menghadapi rakyat, jangan menyamakannya dengan menghadapi wilayah militer. Rakyat biasa akan kelabakan jika dihadapkan dengan militer yang identik dengan disiplin dan keras. Seharusnya TNI itu bersinergi dengan rakyat (termasuk didalamnya wartawan), bukan malah menindas dengan kekerasan.
Berdasarkan hukum positif di Indonesia jurnalis dilindungi dan dijamin oleh UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Jo Pasal 19 UU No 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (Covenan On Civil And Political Right/ICCPR) serta Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Kebebasan Pers. Pasal 18 Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Kebebasan Pers menyatakan “setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan pekerjaan jurnalistik maka dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta".
Setelah banyak orang mengecam tindakan kekerasan tersebut, Panglima TNI berjanji akan menindak sesuai dengan aturan para pelaku yang melakukan kekerasan terhadap wartawan. Disini seharusnya kita ikut berperan serta memantau perkembangan proses peradilan bagi oknum yang melakukan kekerasan terhadap wartawan tersebut. Jangan hanya dengan kata maap dan “lipservice” petinggi TNI di media bahwa perkara kekerasan ini akan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, kita percaya penuh dan puas. Pemantauan itu tetap diperlukan agar proses peradilan terhadap pelaku kekerasan sesuai dengan jalurnya dan tidak hanya menguap sampai sidang kode etik. Gejala dan tindakan kekerasan terhadap wartawan yang sering terjadi serta berulang ini menunjukkan, bahwa belum ada pemahaman yang tepat terhadap kerja-kerja jurnalistik yang dilindungi oleh undang-undang. Akibatnya, tidak adanya efek jera dari para pelaku kekerasan terhadap wartawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar