Selasa, 25 September 2012

Berfilosofis tentang Kesalahan

Berfilosofis tentang kehidupan dan perilaku individu bagi saya merupakan suatu kegiatan yang menarik, dengan berfilosofis kita bisa mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kehidupan dan perilaku, tidak hanya berpikir praktis, namun juga berpikir secara mendalam. Edisi kali ini akan membahas mengenai kesalahan.
Kesalahan berasal dari kata salah yang artinya dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah keliru atau tidak benar. Kesalahan dapat dilakukan oleh setiap manusia, baik itu kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja, hal inipun bersifat manusiawi. Kesalahan dapat terjadi karena adanya 2 (dua) hal yang tidak sinkron, entah itu bentuknya persepsi atau pemahaman. Bentuk kesalahan dalam kehidupan inipun ada berbagai macam antara lain kesalahan dalam pergaulan baik itu persahabatan maupun berpacaran, kesalahan dalam bekerja, kesalahan dalam bersikap dan lain sebagainya.
Manusia dalam hidupnya pasti tidak akan lepas dengan apa yang namanya “kesalahan”’ karena tidak ada manusia yang sempurna, sempurna itu hanya milik Allah SWT. Manusia yang baik adalah manusia yang ketika melakukan sebuah kesalahan, ia mengakuinya dan mau memperbaiki kesalahannya tersebut. Ada juga tipe manusia yang tidak mau mengakui kesalahannya, dan menganggap bahwa apa yang dia lakukan selalu benar, tipe orang yang seperti ini adalah tipe orang yang egois.
Ketika seseorang sadar bahwa dia mahluk sosial dan pada suatu waktu melakukan sebuah kesalahan, seharusnya ia melakukan perbaikan terhadap kesalahannya tersebut. Perbaikan tersebut bisa dengan cara meminta maap atau melakukan hal-hal tertentu yang layak untuk menebus kesalahannya tersebut. Ketika seseorang benar-benar meminta maap atau melakukan hal-hal tertentu yang layak untuk menebus kesalahannya, hendaknya orang yang menjadi “victim” dari kesalahan tersebut dapat memberikan maap ataupun menerima hasil dari hal-hal tertentu yang dilakukan oleh si “trouble maker” yang layak untuk menebus kesalahannya.
Kadang seorang “victim” sulit untuk menerima kata maap ataupun sulit untuk menerima hal-hal tertentu yang dilakukan oleh si “trouble maker” untuk menebus kesalahannya. Kadang juga si “victim” menerima kedua hal tersebut, namun tidak dengan sepenuh hati. Hal ini menurut saya wajar karena ada kemungkinan “victim” trauma terhadap akibat yang ditimbulkan oleh “trouble maker”ataupun masih dendam. Allah SWT berfirman “… dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, .” (QS. An Nuur, 24:22)
Saya yakin ketika kita melakukan kesalahan pasti masih ada kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan kita tersebut, walaupun kadang orang berkata bahwa kesempatan itu tidak akan datang 2 kali. Jika si “trouble maker” secara sepenuh hati meminta maap kepada “victim” atau melakukan suatu hal untuk menebus kesalahannya untuk “victim” dengan bersungguh-sungguh, insyaallah orang tersebut tidak akan mengulangi kesalahannya yang telah lalu. Si “trouble maker” paling tidak sadar, akan apa akibat yang dapat ditimbulkannya nanti apabila ia melakukan kesalahan yang sama, seperti kesalahan yang sebelumnya ia lakukan. Akhir kata yuk bagi kita yang melakukan kesalahan, kita minta maap dengan sepenuh hati dan bagi “victim” yang dimintai maap untuk selalu berkenan memberikan maap secara sepenuh hati kepada “trouble maker”, maka hidup ini akan terasa nyaman dan damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar