Sabtu, 22 September 2012

Teori untuk Menemukan Kebenaran

Pada umumnya untuk menemukan suatu kebenaran harus berdasarkan fakta-fakta dan realitas yang ada. Penyajian fakta-fakta yang ada tersebut setidaknya menggunakan sebuah teori agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sebuah teori yang digunakan untuk mencari kebenaran, lebih dapat dipertanggung jawabkan dari pada mencari suatu kebenaran tanpa berlandaskan teori. Dalam hal mencari kebenaran, manusia juga tidak akan bosan menggunakan sebuah teori, bahkan hingga mengembangkan sebuah teori lama menjadi teori baru untuk menemukan kebenaran tersebut. Teori itu timbul dari buah pikiran manusia yang selalu mengkaji problem yang ada dan mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Perenungan manusia dalam hal tersebut membuat manusia berpikir secara mengakar dan komprehensif. Dalam perenungannya tersebut, manusia dapat dikatakan berfilsafat dan berfilosofis. Ketika manusia berfilsafat dan berfilosofis, maka manusia akan menembus dimensi-dimensi pemikiran manusia pada umumnya. Dimensi-dimensi tersebut tidak hanya dapat ditembus dengan kecerdasan intelektual, namun juga dapat ditembus dengan kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional.
Bidang teori untuk mencari kebenaran itupun beragam, baik itu ilmu yang bersifat sosial maupun ilmu yang bersifat eksakta. Namun dalam hal ini akan dibahas mengenai teori untuk menemukan kebenaran bidang ilmu sosial. Ilmu sosial adalah ilmu yang tidak pasti, lain seperti ilmu eksakta, maka dari itu banyak macam-macam teori dalam ilmu sosial walaupun nanti obyek kajiannya hanya 1 (satu). Dalam menggunakan sebuah teori untuk menemukan sebuah kebenaran, manusia pasti merenung dalam pikirannya. Pikirannya tersebut menerawang-rawang tentang arti dari sebuah nilai kebenaran. Perenungan arti sebuah nilai kebenaran tersebut, dilakukan manusia dengan merekayasa rasionalnya. Ibarat berpikir dilakukan dengan beberapa dimensi, tidak hanya berpikir 1 langkah kedepan, namun berpikir hingga beberapa langkah kedepan.
Kebenaran merupakan salah satu nilai yang ada di dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai kebenaran itu dapat dirasakan oleh rohani manusia, maksudnya adalah sifat manusiawi manusia pasti akan berusaha mencari suatu kebenaran. Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, secara tidak langsung manusia akan terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran tersebut. Sebaliknya apabila manusia telah memiliki pemahaman tentang kebenaran, namun manusia tidak melaksanakan kebenaran tersebut maka manusia akan mengalami gejolak batin atau rohani. Hal ini dapat terjadi karena manusia dalam kehidupannya apabila akan melakukan sesuatu perbuatan harus beriringan dengan kebenaran jalan hidup yang dipercayai dan dijalaninya.
Manusia juga dalam kehidupannya kadang dihadapkan dengan sebuah problem, baik itu problem besar maupun problem kecil. Dalam menghadapi problem tersebut, manusia pasti akan mencari jalan penyelesaiannya. Usaha mencari penyelesaian problem tersebut, dapat dilakukan dengan menggunakan rasionalitas dan pengalaman yang berdasarkan pada kebenaran. Rasionalitas dan pengalaman kehidupan yang didapatkan manusia membuahkan pemikiran-pemikiran yang terkadang melewati batas penalaran rasional pada umumnya. Suatu nilai kebenaran pasti membutuhkan pengakuan dari sekelompok masyarakat, agar kebenaran tersebut dianggap sebagai kebenaran yang sebenarnya dan kebenaran yang terbaik. Tidak jarang ketika ada 2 kebenaran yang diakui oleh masyarakat maka kebenaran tersebut akan diujikan, mana kebenaran yang memang benar-benar sempurna.
Pada pokoknya sebuah teori itu memang digunakan untuk mencari kebenaran. Namun, kebenaran-kebenaran tersebut harus sesuai dengan kebenaran yang berasal dari agama ataupun kebenaran dari Tuhan. Jika manusia berfilsafat dan berfilosofis untuk menemukan sebuah teori yang tujuannya adalah mencari kebenaran, tanpa berlandaskan agama dan Tuhan, maka manusia itu akan sesat. Hal seperti ini yang menjadi permasalahan bangsa saat ini, yang berakibat banyak aliran sesat karena jauhnya atau lepasnya dasar agama dan dasar ketuhanan dari rohani manusia tersebut. Perenungan untuk menemukan teori kebenaran tersebut bisa saja bertentangan dengan nilai-nilai agama dan ketuhanan, selain dari itu juga dapat bertentangan dengan realitas kehidupan masyarakat pada umumnya. Hal itu dapat saja terjadi karena memang otoritas utama dalam melakukan perenungan/berfilsafat/berfilosofis ada pada pikiran manusia. Setiap pemikiran manusia berbeda, hal itu membuat banyak berbagai macam teori tentang kebenaran. Hal yang paling berbahaya ketika manusia tidak menggunakan rasionalitasnya secara proporsional untuk menemukan kebenaran, adalah menganggap bahwa hanya dirinyalah yang paling benar dari pada kebenaran lainnya, sehingga nantinya timbul sikap egoisme dan primordialisme.
Berbeda kembali ketika kebenaran itu dikaitkan dengan nilai keagamaan dan nilai ketuhanan. Dalam agama nilai kebenaran mutlak milik Allah SWT. Selain kebenaran dari Allah SWT bukan kebenaran walaupun ada manusia atau sekelompok masyarakat mengakui itu merupakan sebuah kebenaran. Segala sesuatu yang bukan datang dari Allah adalah ketidakbenaran, walaupun memang kelihatannya normal dan umum. Kebenaran dari Allah yang dibawa oleh Rasullulah itulah yang harus kita cari, kita dapatkan dan kita amalkan. Selanjutnya kebenaran itu kita perjuangkan, karena kebenaran yang datang dari Allah itulah yang membuat manusia menjadi lebih mulia di kehidupan duniawi dan mulia di kehidupan yang akan datang yang lazimnya kita sebut hidup diakhirat.
Disinilah pentingnya rasionalitas manusia dalam berpikir. Manusia harus bisa memilah dan memilih dimensi-dimensi ketika melakukan perenungan untuk menemukan sebuah teori ataupun berfilsafat dan berfilosofis untuk menemukan sebuah kebenaran. Jangan sampai ketika melaksanakan perenungan tersebut manusia menjadi bingung terhadap apa yang direnungkan olehnya karena menyamakan semua dimensi dalam satu waktu perenungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar