Selasa, 24 Juli 2012

Dinamika Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Hal berarti bahwa segala sesuatu yang dilakukan harus berdasarkan hukum positif di Negara ini. Apabila ada sesuatu yang bertentangan dengan hukum maka harus dilakukan penegakan hukum. Dalam penegakan hukum itu sendiri tidak memandang adanya perbedaan status, baik itu pangkat, jabatan, jenis perkara dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan adanya asas equality before the law (semua dipandang sama didepan hukum) yang selalu dijunjung tinggi oleh para penegak hukum.
Dalam era pasca reformasi seperti saat ini banyak terjadi sebuah tindak pidana yang dianggap sebagai extra ordinary crime (kejahatan yang luar biasa) yang telah menjangkiti orang-orang professional dan para pejabat di negeri ini yaitu tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi ini merupakan kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan yang dahsyat di Indonesia, karena dari waktu ke waktu seakan kejahatan ini tidak ada habisnya, namun semakin berlanjut dari waktu ke waktu baik itu di pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Tindak pidana korupsi selain merugikan keuangan negara juga merugikan dan membuat resah rakyat Indonesia, betapa teganya para professional dan para pejabat merampok uang negara yang berasal dari rakyat dengan realita adanya 29,89 juta rakyat Indonesia yang masih berada dibawah garis kemiskinan.
Di Indonesia secara umum mengenai tindak pidana korupsi sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Jika ditinjau dari sisi legal substance (peraturan hukum) penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dapat dikatakan cukup baik, namun jika ditinjau dari sisi lain seperti legal structure (aparat penegak hukum) maka penilaiannya akan berbeda. Masyarakat memandang law enforcement terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum kurang baik karena adanya pembeda-bedaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang lazim kita sebut koruptor. Pembeda-bedaan ini yang membuat terjadinya dinamika penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan lembaga super body seakan tebang pilih terhadap perkara-perkara korupsi.
Bagaimana tidak ketika terjadi perampokan uang negara dalam perkara korupsi bank century yang mencatut nama wakil presiden Boediono dan mantan menkeu Sri Mulyani yang merugikan keuangan negara sebesar Rp. 6,7 Triliun sampai sekarang belum terungkap. Kasus century seakan menguap hilang, tidak ada kabar keberlanjutannya, padahal proses audit forensik yang dikatakan sebagai jalan pembuka bagi terungkapnya perkara korupsi bank century telah selesai dilakukan yang prosesnya sejak Desember 2011 dan telah menelan biaya Rp. 93 Miliar.
Berbeda century, berbeda lagi dengan penanganan perkara korupsi asrama atlet di Palembang. Perkara ini tergolong perkara yang cepat ditangani dan cepat diproses hingga beberapa waktu lalu terdakwanya M. Nazaruddin telah di vonis oleh hakim dengan hukuman 4 tahun 10 bulan penjara. Mantan mensos Bachtiar Chamsyah yang juga baru bebas dari hukuman mengatakan bahwa “Negara ini telah kalah dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi karena telah melakukan tebang pilih perkara korupsi”. Semangat penegakan hukum tindak pidana korupsi juga mulai dinodai oleh beberapa putusan bebas yang dijatuhkan kepada beberapa kepala daerah yang tersandung perkara korupsi. Dengan adanya realita seperti ini membuat sebuah persepsi negatif masyarakat mengenai law enforcement tindak pidana korupsi. Ketika dulu besan Presiden SBY, Aulia Pohan yang tersangkut perkara korupsi dan benar-benar dilakukan penegakan hukum kepadanya, seakan ada “angin segar” mengenai penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang tidak pandang bulu, namun saat ini “angin segar” tersebut seakan mulai hilang dengan adanya sebuah dinamika tersebut.
Melihat keadaan yang seperti ini asas equality before the law sebagaimana yang disebutkan diatas tadi seakan tidak dijunjung lagi oleh aparat penegak hukum. Apalagi jika dibandingkan dengan perkara tindak pidana lain seperti perkara Mbok Minah yang mencuri biji kakao, tebang pilih penanganan perkara pidana sangat terlihat kesenjangannya. Sebuah evaluasi memang perlu dilakukan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, terutama pada bagian legal structure. Banyak masyarakat berpendapat bahwa penegakan hukum yang dilakukan saat ini, masih jauh dari apa yang dikatakan sebagai ideal. Oleh karena itu dalam menciptakan Ius constituendum (hukum yang dicita-citakan) perlu adanya usaha yang keras dari aparat penegak hukum. Masalah lain penegakan hukum tindak pidana korupsi adalah tumpang tindih kewenangan penanganan perkara korupsi masih mewarnai proses penegakan hukum tindak pidana korupsi antara lembaga kepolisian dan KPK. Sebagai contoh perkara korupsi yang melibatkan mantan menkes Siti Fadillah Supari yang ditangani oleh kepolisian, bukan oleh KPK.
Sebenarnya masyarakat sangat berharap kepada KPK sebagai komisi yang independen untuk dapat melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara maximal, dari pada lembaga kepolisian dan lembaga kejaksaan. Nilai kepercayaan masyarakat kepada KPK masih cukup tinggi dibandingkan dengan kedua lembaga tersebut. Dinamika penegakan hukum tindak pidana korupsi merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat hindari. Naik turunnya prestasi pemberantasan perkara korupsi yang diproses hingga kemudian divonis tergantung dari usaha para aparat penegak hukum. Apapun kesulitan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan law enforcement tindak pidana korupsi, harus dicari solusinya dan kemudian diselesaikan, demi keberlangsungan semangat pemberantasan korupsi. Hukum yang selalu mencita-citakan keadilan harus ditegakkan bagi siapapun, termasuk para koruptor. Keadilan juga harus selalu dijunjung tinggi seperti halnya yang disebutkan sebuah adagium hukum “fiat justicia et pereat mundus” (walaupun dunia musnah, keadilan harus tetap ditegakkan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar