Rabu, 06 Oktober 2010

Realita Kehidupan “Mahasiswa” Masa Kini

Siapa itu mahasiswa yang sebenarnya ? suatu pertanyaan yang akhir-akhir ini muncul dengan adanya dinamika yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa yang digambarkan sebagai sosok yang muda, berintelektual dan kritis seakan semakin luntur dari waktu ke waktu. Hal seperti ini terjadi karena adanya kegagalan pemahaman makna transisi status dari siswa ke mahasiswa serta didukung dengan adanya berbagai macam godaan dizaman yang serba pragmatis seperti saat ini. Kegagalan pemahaman makna transisi status itu terlihat dari sikap mahasiswa yang masih identik dengan sikap seorang siswa yang masih berada di dunia sekolah seperti egoisme, kegundahan khas remaja dimasa puberitas dan cita-cita yang tinggi tanpa didasari usaha nyata serta dilengkapi oleh godaan sikap hedonisme.

Mahasiswa saat ini seakan lupa siapa dirinya dan untuk apa mereka dikuliahkan. Kaum minoritas berintelektual ini sebenarnya merupakan tulang punggung pembangun bangsa dan negara menuju perubahan yang lebih baik. Sedikit kita melihat sejarah perubahan bangsa, dimana motor penggerak utamanya adalah mahasiswa seperti kemerdekaan Indonesia yang tidak lepas dari peranan kaum muda dan mahasiswa, peralihan orde lama ke orde baru dan yang terakhir adalah reformasi 1998 yang meruntuhkan orde baru. Namun pola pikir semacam ini kadang tidak dipahami oleh seorang mahasiswa yang kadang menganggap pola pikir semacam ini sebagai pola pikir yang “Berat”. Negara sudah ada yang memikirkan, mengapa kita ikut berpikir tentang negara, begitulah gampangannya sedikit pola pikir yang ada saat ini.

Pola pikir yang semacam ini wajar adanya karena memang perubahan zaman yang luar biasa pada saat ini. Tidak dapat dipungkiri memang perjuangan mahasiswa dulu dan sekarang berbeda. Zaman dulu riil lawan yang harus dihadapi siapa seperti penjajah, penguasa orde lama atau penguasa orde baru. Zaman saat ini lawan yang dihadapi adalah hal yang abstrak, hedonisme dan apatisme. Paham-paham seperti ini semakin tumbuh berkembang dalam diri mahasiswa seiring dengan pencarian jati dirinya. Bahkan sampai dengan saat ini masih ada mahasiswa yang bingung tentang jati dirinya dan kebingungan dalam menentukan arah hidup selanjutnya. Mahasiswa yang kebingungan tersebutlah mayoritas banyak yang terjebak dalam pusaran hedonisme yang pasti berpusat pada hura-hura dan sifat kosumtif. Memenuhi kepuasaan pribadi seakan membudaya. Shopping, clubbing, narkoba, free sex mewarnai kehidupan mahasiswa saat ini.

Hal-hal semacam itulah yang identik dengan mahasiswa saat ini. Sebenarnya mencari kesenangan itu wajar saja asalkan jangan berlebihan. Batas kelebihan itu dapat dilihat dari batas kewajaran yang ada dimasyarakat. Memang kita sebagai mahasiswa terkadang jenuh dengan hal-hal yang terus dipenuhi dengan agenda akademik. Tapi kejenuhan semacam itu dapat disalurkan ke hal-hal yang lebih positif, contohnya ikut dalam organisasi sebagai ajang bersosialisasi. Organisasi juga dapat membentuk pola pikir kita menjadi lebih kritis dan progresif dalam bentuk menulis, membaca atau berdikusi. Relaksasi (pacaran, berkaroke, nonton dibioskop, jalan-jalan bersama teman) itupun juga perlu untuk menyegarkan pikiran agar tidak terlalu tertekan dan frustasi dengan kegiatan sehari-hari, hal itupun manusiawi karena memang setiap orang butuh sedikit intermezzo hiburan tapi tetap kembali ke awal tadi, seorang mahasiswa harus mengerti batas-batas kewajaran dalam mencari kesenangan hidup dan tetap berpegang teguh pada ajaran agama.

Semua mahasiswa dari segala cabang keilmuan seharusnya sadar bahwa ia merupakan calon-calon pemimpin bangsa sebagai agent of change di masyarakat dan dapat resisten terhadap berbagai macam godaan hedonisme yang ada saat ini. Mahasiswa yang sadar pasti akan merasakan bahwa bangku kuliah yang dia enyam saat ini merupakan “The real education”, pendidikan yang penuh warna dan pertarungan pembentukan jati diri yang dinilai dengan intelektualitas cara berpikir. Mahasiswa yang baik juga seharusnya mampu berpikir secara rasional-sistematis, tidak hanya berpikir spontan tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan nantinya atas tindakan yang diambil contohnya tawuran antar mahasiswa di Jakarta dan Makassar. Apakah hal yang seperti itu dapat dikatakan sebagai kaum intelektual muda calon pemimpin bangsa yang mengedepankan otot dari pada otak ??? memang ironis jika ditelaah ulang.

Kemudian ada sebuah realita yang saat ini membudaya dikalangan muda, Mahasiswa yang seharusnya up to date news atau isu-isu nasional saat inipun kadang terbalik malah hanya up to date status di Twitter atau Facebook. Hal seperti ini jika dipikir ulang memang aneh namun merupakan sebuah realita yang ada saat ini. Tapi penilaian penulis secara umum terhadap hal seperti ini wajar karena memang mahasiswa merupakan jiwa muda yang ingin selalu mengekspresikan hati, pikiran dan perasaannya melalui berbagai macam media. Dan tidak sepenuhnya dalam jejaring sosial tersebut semua bernilai negative ada juga hal positifnya. Ekspresi-ekspresi yang ditimbulkan tadi sebenarnya merupakan buah dari kekuatan yang dimiliki oleh setiap mahasiswa, antara lain kekuatan moral (moral force), kekuatan ide (power of idea), kekuatan nalar (power of reason) tapi kadang hal tersebut tidak diolah dan dikelola dengan baik sehingga kekuatan-kekuatan tersebut tidak berfungsi secara optimal bagi mahasiswa dalam usaha menggapai semua cita-citanya atau bahkan malah terjerumus ke hal yang negative karena kegagalan mengelola beberapa kekuatan yang dimilikinya.

Setiap mahasiswa pasti memiliki impian dan cita-cita untuk menggapai kesuksesan, namun saat ini hal itu tidak dibarengi dengan usaha keras. Bahkan saat ini mayoritas mahasiswa berpikir instan, ingin menjadi orang sukses namun tidak mau berusaha dan bekerja keras. Padahal dalam sebuah forum Prof. Husein Haikal, MA (guru besar UNY) pernah berkata bahwa “Untuk menjadi orang hebat dan sukses itu usaha dan tantangannya luar biasa”. Tidak ada orang besar di negeri ini yang masa mudanya hanya dipenuhi oleh kegiatan hura-hura dan berfoya-foya, pasti pada masa mudanya dijalani dengan usaha keras. Berpikir, membaca, berdiskusi dan menulis merupakan kegiatan mereka sehari-hari. Jadi lebih baik kita mencontoh hal-hal tersebut dan bukan malah mencontoh berhura-hura dan berfoya-foya.

Beberapa hal yang dibahas diatas, saat ini merupakan deskripsi dari mahasiswa secara umum. Sebenarnya kita patut bersyukur dan bangga jika dapat menyandang gelar sebagai seorang mahasiswa karena hanya sekitar 4,3 juta orang atau 5 % dari jumlah penduduk Indonesia yang bisa merasakan pendidikan tinggi. Rasa syukur itu dapat kita wujudkan dengan benar-benar menjadi seorang “MAHASISWA” dan bukan menjadi “mahasiswa angin-anginan” atau “mahasiswa abal-abal” yang hanya menumpang bertitel “MAHASISWA”, namun secara intelektualitas, pola pikir dan tindakan tidak menunjukan predikat sebagai seorang mahasiswa. Mari kita jalani “The real education” ini dengan baik dan sepenuh hati untuk menggapai impian dan kesuksesan yang kita idamkan dan pada akhirnya nanti mendapat prestisius dan sebuah pengakuan atas semua usaha yang kita lakukan saat ini. (end)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar