Minggu, 29 Agustus 2010

BERKEMBANGNYA DINASTI POLITIK DI INDONESIA

Oleh : Muhammad Irham Fuady
(Ketua Umum HMI Komisariat Hukum UGM Periode 2010-2011)

Pada akhir-akhir ini kita banyak mendengar tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada). Ditengah-tengah berlangsungnya pesta demokrasi rakyat daerah tersebut sebenarnya dibeberapa daerah pemilihan ada hal yang tersirat tentang keberadaan dinasti politik. Secara harfiah pengertian dinasti itu sendiri adalah kekuasaan yang dipegang secara turun temurun dalam satu garis keturunan atau kerabat dekat. Keberadaan dinasti politik di Indonesia sudah mulai sejak pemerintahan Presiden Ir. Soekarno dan bukan hanya pada tingkat daerah tetapi juga pusat serta bukan hanya dibidang eksekutif tetapi juga legislatif.

Kadang banyak orang tidak menyadari bahwa dinasti politik itu terjadi dan jarang isu seperti ini dibicarakan. Secara umum memang keberadaan dinasti politik tidak menjadi masalah dan dianggap hal yang lumrah dilakukan. Namun, hal itu menurut penulis bukan hal yang lumrah karena hal tersebut dapat menghambat proses regenerasi politik yang baik karena arus kekuasaan untuk menentukan suatu kebijakan yang hanya berputar-putar disatu tempat dan dapat juga dikatakan dinasti politik itu merupakan kaderisasi politik dalam keluarga pemegang kekuasaan. Dari segi hak berpolitik hal itu merupakan hak dari setiap warga negara termasuk juga hak dari pemegang dinasti politik yaitu hak dipilih ataupun hak memilih. Namun jika dikaitkan dengan etika berpolitik menurut penulis kurang patut, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono “Tidak patut jika kepala daerah yang telah habis masa jabatannya digantikan oleh anak atau isterinya” (Kompas, 24 Agustus 2010)

Apalagi dengan perkembangan ketatanegaraan saat ini, dimana pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan dasar Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Disini rakyat sangat berperan dalam memilih pemimpinnya, tapi terkadang rakyat hanya terjebak dalam alur elit politik dengan janji-janji muluk saat kampanye yang belum tentu nantinya akan dilaksanakan atau tidak. Demi tercapainya suatu kepentingan politik maka digunakanlah politik pencitraan untuk mendapat simpati dari rakyat, cara seperti ini banyak dilakukan oleh elit politik untuk menggapai suara rakyat saat pemilu ataupun saat pemilukada, tapi selanjutnya ibarat pepatah “habis manis sepah dibuang” begitulah nasib rakyat.

Dinasti politik saat ini seakan menjadi sebuah trend dalam setiap pemilihan kepala daerah seperti didaerah Kabupaten Bantul yang Bupatinya baru saja dilantik Hj. Sri Suryawidati yang merupakan isteri dari Drs. Idham Samawi (Bupati Bantul periode sebelumnya). Di Kabupaten Kediri, 2 orang isteri dari Sutrisno (Bupati periode sebelumnya) berebut tahta suaminya yang dimenangkan oleh Hj. Haryanti (isteri tua) dan kemungkinan juga dalam pemilihan Walikota Yogyakarta nanti pada tahun 2011, dimana Partai Amanat Nasional (DPD PAN Kota Yogyakarta) akan mendaulat Hj. Dyah Suminar isteri dari Drs. Herry Zudianto (Walikota Yogyakarta periode saat ini) agar mau maju menjadi calon Walikota Yogyakarta periode 2011-2016.

Sebenarnya dinasti politik tidak hanya ada di Indonesia tetapi juga ada dinegara lain seperti dinasti Downer di Australia, dinasti Bush di Amerika, dinasti Bhuto di Pakistan dll. Dalam dinasti politik di Indonesia potensi terjadinya abuse of power oleh pemegang pemerintahan sangat besar karena dalam pelaksanaannya dinasti politik di Indonesia berbeda dengan beberapa negara lain yang juga memiliki dinasti politik. Dinegara lain memiliki system yang lebih baik dari Indonesia, walaupun dalam bentuk suatu dinasti politik suatu kekuasaan pemerintahan dilaksanakan secara professional dan akuntabel. Dari potensi abuse of power tadi maka nantinya akan timbul korupsi yang saat ini menjadi masalah besar bangsa ini dan kemudian diikuti pula oleh kolusi dan nepotisme. Hal ini sinkron dengan teori Lord Acton “Absolutely power tends to corrupt”. Terkait dengan itu maka disini sangat perlu adanya pengawasan baik itu internal dari pemerintah sendiri maupun pengawasan langsung dari rakyat.

Namun, terkadang pengawasan internal itu hanya bersifat formalitas, dilaksanakan tapi entah bagaimana realisasi solusi dari penemuan suatu penyimpangan. Penulis mengambil suatu contoh beberapa waktu yang lalu dari Kabupaten Sragen dimana Ketua DPRD nya Kusdinar Untung Yuni Sukowati yang mengundurkan diri pada Maret 2010 dan kemungkinan akan maju dalam Pilkada Kabupaten Sragen 2011 merupakan anak dari Bupati Sragen (Untung Wiyono), disini kadang orang bertanya apakah system check n balances yang dilakukan oleh legislative kepada eksekutif akan efektif atau tidak. Maka dari itu pengawasan langsung oleh rakyat sangat dibutuhkan, sebagai pengganti pengawasan internal yang terkadang tidak berjalan efektif.

Dalam dinasti politik kadang ada pula strategi suatu generasi dibawah generasi utama yang hanya menumpang nama besar dari generasi utama untuk mengorbitkan diri dalam suatu pemilihan agar mendapatkan suara mayoritas, tapi disini kadang ada suatu pertanyaan entah bagaimana kapasitas dan kapabilitas generasi bawah tersebut dalam memimpin suatu kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan, apakah benar sama dengan nama besar yang diwakilinya. Rakyat terkadang hanya melakukan suatu penilaian spontan terhadap suatu sosok yang ada dibawah nama besar, namun belum mengetahui semua latar belakangnya dan rakyat hanya berharap sosok tersebut dapat menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan.

Dinasti politik itu sendiri tidak sepenuhnya dipenuhi oleh hal-hal yang negative, ada pula dinasti politik yang positif dengan melakukan perbaikan kesalahan-kesalahan dan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih baik dari pada generasi dinasti politik yang sebelumnya. Dalam pandangan masyarakat secara umum dinasti politik dianggap sebagai sikap elite politik yang tidak ingin kehilangan kekuasaan secara langsung, padahal kekuasaan yang diberikan merupakan amanah yang tidak absolut. Demikian sedikit buah pikiran dari penulis dengan sedikit kesimpulan bahwa semua hal yang dilakukan dalam berpolitik itu tergantung dari sosok pemimpinnya, ingin berpolitik murni atau ingin berpolitik kepentingan golongan karena negara demokrasi itu adalah negara dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat bukan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk penguasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar