Jumat, 12 Juni 2009

SITI HAJAR dan MANOHARA

Beberapa waktu ini kita sering mendengar tentang kasus penganiayaan model cantik Manohara Odelia Pinot oleh putera mahkota Kerajaan Kelantan Malaysia dan penyiksaan TKI (Siti Hajar) oleh majikannya. Kedua kasus ini membuat polemik ditengah-tengah masyarakat Indonesia, banyak masyarakat yang geram terhadap perlakuan warga negara mereka terhadap warga negara Indonesia yang berada di Malaysia. Disini saya akan membahas kedua kasus tersebut. Pertama saya akan membahas tentang kasus Manohara, dimana dalam kasus ini unik karena kronologisnya seperti dalam film. Pembebasan Manohara melibatkan kepolisian Singapura, KBRI, Kedubes AS dan FBI (menurut pemberitaan media).
Setelah menunggu lama akhirnya Manohara dapat bebas dan saat ini kembali ke tanah air. Dalam pengakuannya Manohara disiksa oleh suaminya Fahri, putra mahkota Kerajaan Kelantan Malaysia pada bagian tubuh tertentu. Namun luka-luka tersebut tidak terlalu fatal menurut saya jika dibandingkan dengan luka-luka yang diderita oleh para TKI. Salah satu contohnya yang baru panas-panasnya saat ini adalah kasus Siti Hajar TKI asal Garut, Jawa Barat yang disiksa oleh majikannya Michel warga Malaysia selama 34 bulan atau selama 3 tahun. Siti disiksa dengan cara disiram air panas disekujur tubuhnya dan dipukul dengan kayu, jika pekerjaannya kurang rapi atau tidak beres. Hal ini menurut saya sangat tidak manusiawi, memperlakukan seseorang seolah-olah memperlakukan seekor binatang.
Apakah perlu seseorang menganiaya orang lain se keji itu ??? mungkin Michel sudah gila. Hati Michel tersebut bukanlah hati manusia lagi, namun sudah berhati “setan” tidak mempunyai perikemanusiaan lagi. Akibat penganiayaan tersebut Siti Hajar mengalami luka permanen ditubuhnya terutama pada bagian hidung dan telinganya yang patah akibat di palu. Disini hati saya sangat tersentuh karena melihat keadaan tersebut ditambah lagi dengan tidak diberikannya gaji Siti Hajar sebesar Rp 54 juta. Hal yang dilakukan Michel tersebut sangat melanggar HAM yang saat ini sedang gencar-gencarnya di kumandangkan yang biasanya sangat dihormati dinegara-negara maju yang juga biasanya disebut “Human Right”. Disini seakan tak ada yang namanya Human Right, adanya hanyalah seseorang yang berperilaku seperti “binatang”. Saat ini Michel sudah ditahan oleh polisi diraja Malaysia untuk menunggu prosedur hukum selanjutnya. KBRI juga telah mem-back-up kasus ini sehingga akan mengawal dan mengurus hingga nantinya dapat terselesaikan dengan adil. Dari dua kasus yang saya ceritakan tadi tersebut diatas mungkin ada perbedaan yang mencolok. Dimana kasus Manohara sebagai model cantik yang di siksa dan Siti Hajar sebagai TKI (PRT) yang disiksa.
Disini ada juga hal yang sama yaitu sama-sama disiksa. Namun saya lebih bersimpati pada Siti Hajar karena Siti Hajar merupakan gambaran umum TKI di Malaysia. TKI merupakan pahlawan devisa negara yang menghasilkan $ 5 juta per tahun hal ini tidak sebanding dengan perlakuan yang didapatkan secara umum. Banyak kasus-kasus TKI lain seperti Nirmala Bonat, Heni Indriyani dll yang sama nasibnya seperti Siti Hajar yang harus dilindungi hak-haknya sebagai WNI yang bekerja diluar negeri. Semoga saja perlindungan terhadap TKI dan WNI lainya lebih ditingkatkan dan dapat mengurangi penganiaya-penganiayaan yang berpotensi akan terjadi di waktu yang akan datang.

Sabtu, 06 Juni 2009

PENGADILAN TIPIKOR TINGGAL DIUJUNG TANDUK

Awal mula penentuan nasib pengadilan tipikor adalah pertentangan pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bertentangan dengan UUD 1945,khususnya Pasal 24 A ayat (5),yang menyatakan bahwa susunan,kedudukan dan hukum acara Mahkamah Agung,dan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 19 Desember 2006. Hal tersebut membuat kegelisahan terhadap usaha pemberantasan korupsi yang dilakukan saat ini karena MK memberikan waktu tiga tahun kepada pemerintah dan DPR untuk menyusun RUU Pengadilan Tipikor. Namun hingga saat ini tidak ada kejelasan mengenai RUU Pengadilan Tipikor tersebut. Hal ini menunjukan bahwa DPR tidak bersungguh-sungguh dalam pembahasan RUU Pengadilan Tipikor dan secara tidak langsung DPR juga telah meredupkan semangat pemberantasan korupsi yang saat ini sedang dilakukan.
Dalam waktu tiga tahun seharusnya DPR dapat menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor yang sangat mendesak keperluannya demi usaha pemberantasan korupsi dimasa mendatang. Kelambanan DPR dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor disebabkan juga oleh pemilu legislatif April kemarin, dimana para anggota DPR sibuk mempersiapkan pencalonan dirinya kembali sebagai caleg dari pada memenuhi tugasnya sebagai wakil rakyat yang seharusnya sibuk membahas RUU Pengadilan Tipikor. Masalah ini mungkin juga merupakan “serangan balik” dari oknum DPR yang anggotanya paling banyak tertangkap melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam waktu yang sisa 5 bulan ini banyak pihak yang pesimis terhadap penyelesaian RUU Pengadilan Tipikor oleh DPR terutama dari ICW yang selalu mengawal perkembangan pembahasan RUU ini. Disisi lain banyak pihak mendesak presiden untuk membuat Perpu (Peraturan pengganti undang-undang) mengenai pengadilan tipikor, jika benar nantinya DPR tidak dapat menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor. Menurut kami desakan pembuatan Perpu ini oleh Presiden merupakan sebuah tantangan berbagai elemen masyarakat terhadap usaha pemberantasan korupsi. Jika Presiden siap mengeluarkan Perpu, jika DPR gagal meng gol kan RUU Pengadilan Tipikor berarti presiden memang konsisten terhadap usaha pemberantasan korupsi yang telah dilakukannya saat ini dan dimasa yang akan datang. Semoga dengan waktu yang bersisa 5 bulan ini sebelum tanggal 19 Desember 2009 dan sebelum masa jabatan anggota DPR saat ini berakhir pada September 2009 nanti RUU Pengadilan Tipikor dapat terselesaikan .